Pada artikel ini, saya akan menganalisis dua buah puisi terkenal, yaiu puisi Chairil Anwar yang berjudul “Selamat Tinggal” dan puisi oleh Kahlil Gibran yang berjudul “Perpisahan Sabahat”. Setelah saya membaca dan mengerti dua puisi tersebut, saya menemukan beberapa hal yang membuat dua puisi tersebut berbeda. Saya akan memulai membandingkan dua buah puisi tersebut melalui unsur fisiknya. Puisi nomor pertama yaitu karya Chairil Anwar, yang berjudul “Selamat Tinggal”.
Aku berkaca
Ini muka penuh Luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
Dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah
Segala menebal, segala mengental
Segala takku kenal
Selamat tinggal
Puisi nomor dua adalah puisi “Perpisahan” oleh Kahlil Gibran, yang berbunyi:
Dan ia berkata pada dirinya
Sungguhkah saat berpisah
Menjadi pula saat bertemu?
Benarkah akhir hariku
Akan merupakan fajar bagiku?
Akankah kasihku deras mengucur,
Melimpah tak putus bagai air mancur
Sehingga terisi gelas-gelasnya?
Mampukah aku menjadi harpa
Yang disentuh Yang Maha Kuasa
Atau seruling yang ditiup oleh nafasNYA?
Saat perpisahan pun telah tiba
Dalam keremangan senja ingatan abadi
Kita masih akan berjumpa kembali
Dan kita akan berwawan sabda lagi
Disitulah lagu yang kunyanyikan untukku
Lebih dalam berisi
Dan apabila tangan kita bersentuhan di lain mimpi
Mari tegakkan menara langit lagi
Menjulang tinggi.
Perbandingan puisi pertama dan kedua dimulai dengan perbandingan rima. Puisi pertama memiliki pola rima pada akhir baris. Rima dalam puisi Chairil Anwar tersebut dapat dilihat dalam semua bait. Rima dalam puisi tersebut berima A-A-A. Pada contohnya pada baris:
Aku berkaca
Ini muka pernuh luka
Siapa punya?
Kita bisa melihat kalau kata “berkaca” berima dengan kata “luka” dan juga “punya”. Dalam setiap baris yang ada memiliki pola rima yang sama. Seperti baris 4 sampai 6, dimana kata “menderu”, “hatiku”, dan juga “lalu”.
Bedanya pada puisi yang nomor kedua adalah rimanya tidak ada dalam setiap bait; setiap bait memiliki pola rima yang berbeda. Contoh rima yang dapat dilihat berada pada baris 4 dan 5 serta 6 dan 7. Pola rima pada puisi tersebut adalah A-A-B-B. Rima dalam puisi “Perpisahan” oleh Kahlil Gibrail ini memiliki pola yang berbeda, tidak hanya A-A-B-B. Contoh pola rima A-A-B-B adalah dibawah berikut:
Benarkah akhir hariku
Akan merupakan fajar bagiku?
Akankah kasihku deras mengucur,
Melimpah tak putus bagai air mancur
Dalam puisi tersebut, kita dapat melihat bahwa kata “hariku” memilik rima yang sama dengan “bagiku” dan “mengucur”. Setelah itu rima yang lain dapat dilihat dari baris 13 hingga 16, dimana kata “abadi” “kembali” dan “lagi” mempunyai rima yang sama dengan belakang “-i”.
Perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas adalah amanat yang terkandung dari dua buah puisi tersebut. Amanat merupakan pesan yang ingin diungkapkan oleh penyair dalam puisi tersebut. Puisi nomor dua oleh Kahlil Gibran memiliki amanat bahwa kita jangan menyia-nyiakan waktu kita dengan kekasih karena cepat atau lambat perpisahan akan datang, dan yang abadi hanyalah kenangan yang indah. Berbeda dengan puisi nomor satu, beramanat agar melupakan masa lalu. Penyair ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa masa lalu yang kelam itu hendaklah dijadikan pelajaran untuk masa depan. Hal tersebut dapat dilihat dari bait-bait puisi.
Bahasa figuratif atau bahasa berkias yang ada di dalam dua buah puisi tersebut memiliki persamaan serta perbedaan juga. Pada contohnya pada bait “ini muka penuh luka” pada puisi Selamat Tinggal merupakan majas personifikasi yaitu mengumpamakan benda mati sebagai benda hidup, dimana “muka” sebagai benda mati diumpamakan sebegai kehidupan seseorang. Untuk puisi Kahlil Gibran, ada juga majas personifikasi. Pada contohnya baris “Yang disentuh Yang Maha Kuasa”, karena Yang Maha Kuasa tidak dapat menyentuh. Yang berbeda, dalam puisi yang kedua terdapat majas simile, seperti pada bait “Melimpah tak putus bagai air mancur”. Sang penyair menggunakan kata bagai untuk membandingkan kasihnya yang mengucur dengan air mancur.
Persamaan yang saya lihat dari kedua puisi tersebut adalah tema dan juga rasa. Tema dari kedua puisi tersebut adalah meninggalkan apa yang ada dalam masa lalu atau perpisahan. Untuk puisi pertama, sang penyair meninggalkan masa lalu dan ingin melupakannya. Sedangkan puisi yang kedua merupakan melupakan masa lalu kekasihnya dan perpisahan. Rasa yang ada dalam dua puisi tersebut juga sama yaitu merasakan kesedihan. Sepanjang puisi tersebut sang penyair menceritakan kesedihannya maupun ia ada perpisahan kepada sang kekasih ataupun melupakan masa lalunya yang kelam.
Demikian analisis singkat mengenai puisi Selamat Tinggal dan Perpisahan, semoga analisis ini bermanfaat untuk para pembaca. Terima kasih.
Aku berkaca
Ini muka penuh Luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
Dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah
Segala menebal, segala mengental
Segala takku kenal
Selamat tinggal
Puisi nomor dua adalah puisi “Perpisahan” oleh Kahlil Gibran, yang berbunyi:
Dan ia berkata pada dirinya
Sungguhkah saat berpisah
Menjadi pula saat bertemu?
Benarkah akhir hariku
Akan merupakan fajar bagiku?
Akankah kasihku deras mengucur,
Melimpah tak putus bagai air mancur
Sehingga terisi gelas-gelasnya?
Mampukah aku menjadi harpa
Yang disentuh Yang Maha Kuasa
Atau seruling yang ditiup oleh nafasNYA?
Saat perpisahan pun telah tiba
Dalam keremangan senja ingatan abadi
Kita masih akan berjumpa kembali
Dan kita akan berwawan sabda lagi
Disitulah lagu yang kunyanyikan untukku
Lebih dalam berisi
Dan apabila tangan kita bersentuhan di lain mimpi
Mari tegakkan menara langit lagi
Menjulang tinggi.
Perbandingan puisi pertama dan kedua dimulai dengan perbandingan rima. Puisi pertama memiliki pola rima pada akhir baris. Rima dalam puisi Chairil Anwar tersebut dapat dilihat dalam semua bait. Rima dalam puisi tersebut berima A-A-A. Pada contohnya pada baris:
Aku berkaca
Ini muka pernuh luka
Siapa punya?
Kita bisa melihat kalau kata “berkaca” berima dengan kata “luka” dan juga “punya”. Dalam setiap baris yang ada memiliki pola rima yang sama. Seperti baris 4 sampai 6, dimana kata “menderu”, “hatiku”, dan juga “lalu”.
Bedanya pada puisi yang nomor kedua adalah rimanya tidak ada dalam setiap bait; setiap bait memiliki pola rima yang berbeda. Contoh rima yang dapat dilihat berada pada baris 4 dan 5 serta 6 dan 7. Pola rima pada puisi tersebut adalah A-A-B-B. Rima dalam puisi “Perpisahan” oleh Kahlil Gibrail ini memiliki pola yang berbeda, tidak hanya A-A-B-B. Contoh pola rima A-A-B-B adalah dibawah berikut:
Benarkah akhir hariku
Akan merupakan fajar bagiku?
Akankah kasihku deras mengucur,
Melimpah tak putus bagai air mancur
Dalam puisi tersebut, kita dapat melihat bahwa kata “hariku” memilik rima yang sama dengan “bagiku” dan “mengucur”. Setelah itu rima yang lain dapat dilihat dari baris 13 hingga 16, dimana kata “abadi” “kembali” dan “lagi” mempunyai rima yang sama dengan belakang “-i”.
Perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas adalah amanat yang terkandung dari dua buah puisi tersebut. Amanat merupakan pesan yang ingin diungkapkan oleh penyair dalam puisi tersebut. Puisi nomor dua oleh Kahlil Gibran memiliki amanat bahwa kita jangan menyia-nyiakan waktu kita dengan kekasih karena cepat atau lambat perpisahan akan datang, dan yang abadi hanyalah kenangan yang indah. Berbeda dengan puisi nomor satu, beramanat agar melupakan masa lalu. Penyair ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa masa lalu yang kelam itu hendaklah dijadikan pelajaran untuk masa depan. Hal tersebut dapat dilihat dari bait-bait puisi.
Bahasa figuratif atau bahasa berkias yang ada di dalam dua buah puisi tersebut memiliki persamaan serta perbedaan juga. Pada contohnya pada bait “ini muka penuh luka” pada puisi Selamat Tinggal merupakan majas personifikasi yaitu mengumpamakan benda mati sebagai benda hidup, dimana “muka” sebagai benda mati diumpamakan sebegai kehidupan seseorang. Untuk puisi Kahlil Gibran, ada juga majas personifikasi. Pada contohnya baris “Yang disentuh Yang Maha Kuasa”, karena Yang Maha Kuasa tidak dapat menyentuh. Yang berbeda, dalam puisi yang kedua terdapat majas simile, seperti pada bait “Melimpah tak putus bagai air mancur”. Sang penyair menggunakan kata bagai untuk membandingkan kasihnya yang mengucur dengan air mancur.
Persamaan yang saya lihat dari kedua puisi tersebut adalah tema dan juga rasa. Tema dari kedua puisi tersebut adalah meninggalkan apa yang ada dalam masa lalu atau perpisahan. Untuk puisi pertama, sang penyair meninggalkan masa lalu dan ingin melupakannya. Sedangkan puisi yang kedua merupakan melupakan masa lalu kekasihnya dan perpisahan. Rasa yang ada dalam dua puisi tersebut juga sama yaitu merasakan kesedihan. Sepanjang puisi tersebut sang penyair menceritakan kesedihannya maupun ia ada perpisahan kepada sang kekasih ataupun melupakan masa lalunya yang kelam.
Demikian analisis singkat mengenai puisi Selamat Tinggal dan Perpisahan, semoga analisis ini bermanfaat untuk para pembaca. Terima kasih.